Buku ini menawarkan kepada siapa pun untuk memungut hikmah-hikmah yang tercecer itu, baik dari cerita lisan, pengalaman pribadi, ataupun lainnya. Sebagai umat Nabi Muhammad, sudah selayaknya kita menyikapi sebuah fenomena—seremeh apa pun—dengan pikiran positif, untuk kemudian mengambil hikmahnya. Sebab, kepada umatnya nabi pernah bersabda, “Hikmah adalah barang yang hilang dari perbendaharaan kaum muslim. Barang siapa yang menemukannya, dia lebih berhak memungutnya.”
Tahukah Anda sifat yang akan menjadikan iman Anda tetap membumi pada diri Anda? Tahukah Anda bagaimana agar iman tidak hilang dari kehidupan Anda? Jawabannya adalah Anda harus memiliki sifat malu. Benar, orang beriman harus memiliki sifat malu. Karena malu dan iman merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Rasulullah saw mengingatkan,
Malu dan iman dalah dua sisi yang selalu bersama. Jika salah satunya hilang dari keduanya, maka yang lain juga ikut hilang. (HR. al-Hakim)
Tahukah Anda sifat yang senantiasa membawa kebaikan? Jika ia ada, ia hanya akan memberikan kebaikan kepada pemiliknya? Ia adalah sifat malu. Benar, akhlak malu harus melekat pada pribadi setiap muslim. Karena ia adalah sumber kebaikan. Rasulullah SAW menegaskan,
Sifat malu tidak akan datang, kecuali dengan membawa kebaikan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tahukah Anda kiat menjadikan hidup dan segala hal yang Anda punya menjadi indah? Jawabannya adalah, Anda harus menghadirkan sifat malu pada diri Anda. Karena Nabi SAW menyatakan,
Sifat malu tidak ada pada sesuatu, kecuali ia akan menghiasinya. (HR. Tirmidzi)
Buku ini akan mengajak Anda memahami urgensi sifat malu dalam kehidupan dan keimanan Anda. Anda juga akan diajak menyelamni bagaimana sifat ini menjadikan diri berkualitas, seperti para nabi dan orang-orang shalih, yaitu hidup dengan malu, penuh iman, menjadi sumber kebaikan, indah, dan tidak memalukan. Selain itu, Anda akan dimotivasi untuk mampu menerapkan akhlak malu dalam menghiasi keseharian hidup Anda.
Pada buku keempat (jilid 4) yang sekarang ini ada di tangan pembaca dan merupakan jilid terakhir dari tetralogi Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, Adonis lebih banyak mengeksplorasi fenomena kemapanan (ats-tsâbit ) dan kreativitas (al-mutahawwil) dalam bidang sastra-puisi, khususnya terkait dengan modernitas puisi.
Para pelopor modernitas ini pada umumnya berasal dari warga non-Arab, meski adakalanya yang peranakan. Selain itu, kebanyakan dari mereka juga tumbuh di tengah-tengah masyarakat miskin, sebagai budak atau mawali. Oleh karena itu, mereka terdorong kuat untuk memantapkan eksistensinya di kalangan masyrakat Arab- Islam. Untuk itu, mereka mempersenjatai diri dengan senjata paling kuat, yakni bahasa dan agama. Dan, di antara mereka banyak yang berhasil mendalami dan menguasai bahasa melebihi pemilik bahasa itu sendiri. Mereka juga dengan sangat berani mencabut watak kequraisyan dan kearaban agama, dan memberinya corak kemanu- siaan-keumatan. Oleh karena itu, sangat wajar jika mereka men- dapatkan resistensi dari masyarakat Arab dan juga sistem kekuasaan yang ada. Mereka juga mendapati diri mereka berhadapan dengan tradisi-tradisi sastra-puisi yang ada sebab ia juga merupakan tradisi- tardisi yang diwarisi oleh sistem kekuasaan dan sekaligus dimapankan olehnya. Dalam posisi seperti itulah mereka justru mendapati diri mereka sebagai pencipta (kreator) ekspresi yang sejalan dengan kehidupan yang mereka jalani, namun bertentangan dengan tradisi yang ada. Dari situlah mereka selalu dinilai sebagai kelompok penyimpang dan pembuat bid’ah.
Di sini, Adonis berhasil menjelaskan dengan sangat baik meng- apa aspek “yang mapan” (tsabat) lebih dominan/mendominasi dari- pada “yang berubah” (tahawwul). Hal itu, menurutnya, disebabkan karena perspektif keagamaan telah ikut campur dalam persoalan sastra-puisi. Dalam arti bahwa sistem universal yang diwujudkan oleh agama menjadi faktor mendasar yang menyebabkan masyarakat Arab-Islam sejak abad pertama hijriah hingga munculnya era ke- bangkitan lebih memilih yang lama (statis) daripada yang baru (dinamis) sehingga agama menempatkan yang lama dalam posisi sempurna dan menganggap semua yang baru sebagai bentuk penyelewengan dari yang ideal dan sempurna.
Pada buku ketiga (Jilid 3) yang sekarang ada di tangan pembaca, Adonis lebih memfokuskan kajiannya pada pertentangan yang terjadi di kalangan masyarakat Arab-Islam era pertengahan dan masa kebangkitan, khususnya terkait dengan persoalan modernitas.
Modernitas yang muncul saat ini, menurut Adonis, merupakan perpanjangan dari apa yang disebut sebagai tahawwul (perubahan), dan perubahan muncul dari asumsi adanya kekurangan atau tidak adanya pengetahuan di masa lampau. Kekurangan atau ketiadaan ini mungkin bisa diganti dengan mengambil sesuatu untuk pemikiran atau pengetahuan tertentu dari bahasa asing ini atau itu, namun mungkin juga ia bisa dijawab dengan melakukan upaya kreativitas. Dengan demikian, modernitas adalah menyatakan sesuatu yang belum diketahui oleh tradisi kita, atau mengungkapkan sesuatu yang tidak diketahui dari satu sisi, dan menerima ketidakberhinggaan pengetahuan di sisi yang lain.
Pada buku ketiga ini Adonis berusaha menampilkan kembali seluruh problematika di atas dengan cara memaparkan pandangan- pandangan para pemikir dan ilmuan Arab melalui para juru bicara- nya. Di sini, Adonis memilih beberapa tokoh yang dianggap represen- tatif mewakili kegelisahan masyarakat Arab-Islam dalam menghadapi modernitas, baik suara dari pihak yang menghendaki kemapanan maupun yang menghendaki perubahan-kreativitas. Pada bagian awal Adonis menampilkan empat tokoh-ilmuan yang mewakili kedua ke- cenderungan tersebut, khususnya pada era pertengahan. Mereka adalah Al-Qadhi Abd al-Jabbar, al-Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan Ibn Taimiyah.
Buku ini akan memberikan informasi yang detil dan “telanjang” atas seluruh sisi kehidupan masyarakat Arab-Islam dan juga tentang gerak kebudayaan dan pemikirannya yang disertai dengan pertentangan dan pertarungan yang begitu keras di antara kelompok yang menghendaki kemapanan (status quo) dan yang menginginkan perubahan. Begitu terbuka, detil, dan kontrofersialnya pemberitaan yang ada dalam buku ini serta begitu kritisnya Adonis dalam melihat dan membaca setiap informasi (data) yang ada maka tidak meng- herankan jika kritik dan juga cemoohan banyak dialamatkan pada buku ini dan juga kepada penulisnya. Akan tetapi sayangnya, kritikan tersebut lebih sering muncul dari tokoh yang sebenarnya tidak paham dengan gagasan yang diusung oleh Adonis. Oleh karena itu, kehadiran buku ini diharapkan akan mampu memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang gerak kebudayaan Arab-Islam. Selain itu, buku ini juga diharapkan bisa memberikan wacana dan perspektif baru atas sejarah dan pemikiran Arab-Islam dengan segala dinamikanya.
Pada buku kedua (Jilid 2) Adonis mengkaji tentang upaya-upaya yang dilakukan oleh para pemikir dan ilmuan Arab-Islam era Dinasti Umayyah dan Abbasiyah untuk “memapankan yang dasar” (ta’shîl al-ushûl) dan “memapankan dasar-dasar kemapanan” (ta’shîl ushûl ats-tsâbit) dalam upaya mendefinisikan pengertian dari term al-qadîm, as-sunnah, bid’ah, ijma’, dan taklid. Pada aspek ats-tsâbit (yang tetap- statis), Adonis melakukan pembacaan kritis terhadap apa yang ditulis oleh asy-Syafi’i terkait dengan upayanya memapankan yang dasar. Di sini, Adonis mengutip begitu banyak teks asy-Syafi’i dan melaku- kan pembacaan kritis atasnya. Menurut Adonis, asy-Syafi’ merupa- kan salah satu tokoh terdepan yang terus berusaha “memapankan yang dasar”, khusususnya dalam bidang hukum (Islam). Ia sangat gigih mempertahankan kemapanan dan menolak perubahan. Setelah melakukan kajian atas teks asy-Syafi’i, Adonis kemudian melakukan teorisasi terhadap dasar-dasar bahasa dan kaitan antara bahasa dan agama. Setelah itu, kajian dilanjutkan dengan upaya melakukan teori- sasi atas puisi dalam kaitannya dengan nilai-nilai agama-moral.
Pada aspek al-mutahawwil (perubahan dan kreativitas), Adonis mengelaborasi gerakan-gerakan revolusioner yang terjadi pada dua masa, yakni era Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, dan gerakan-gerakan intelektual di kalangan kelompok apostik yang menolak kenabian karena berpedoman pada nalar, dan menempatkan nalar sebagai dasar pengetahuan. Selain itu, Adonis juga mengelaborasi gerakan-gerakan kebatinan dari kelompok Imamiyah dan Sufi. Setelah itu, pembahas- an dilanjutkan dengan mengkaji puisi dan dialektika antara yang lama dengan yang baru; serta bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh Basysyar, Abu Tamam, dan Abu Nuwas untuk menyimpang dari nilai lama dan menciptakan puisi baru. Bagian ini diakhiri dengan pem- bahasan tentang gerakan kritik puisi yang dilakukan oleh mereka yang lebih mengutamakan yang lama atas yang baru. Mereka juga mendesakkan nilai lama tersebut ke dalam masyarakat Arab melalui pembuatan kaidah-kaidah yang menjelaskan kebenaran nilai lama dan kesalahan nilai baru. Dengan demikian, corak peradaban Arab- Islam yang berkembang pada abad II hingga penghujung abad III H., sebagaimana dibahas pada buku kedua (Jilid 2) ini adalah pertarung- an antara akal dan naql (wahyu), pembaruan dan taklid, dan pertarungan antara kecenderungan salafisme dan kecenderungan rasionalisme-empirisisme.
Sebagai sebuah komunitas, umat Islam memiliki keyakinan bahwa mereka adalah umat terbaik (khair al-ummah). Akan tetapi, pada saat yang sama mereka sedang berada dalam posisi “tidak berdaya” menghadapi apa saja yang diluncurkan dari pihak lain yang oleh sebagian besar di antara mereka dianggap sebagai “musuh” yang tidak boleh didekati, dah bahkan justru harus diperangi dan disingkir- kan. Mengambil begitu saja apa yang datang dari mereka akan ber- akibat lenyapnya jati diri yang sudah mengakar. Akan tetapi, tetap mempertahankan diri dengan bersikap eksklusif juga akan berakibat pada munculnya proses alienasi diri dari kehidupan. Jika demikian masalahnya, lantas bagimana umat Islam harus bersikap terhadap teks dasar keagamaan Islam (Al-Qur’an dan Hadits) dan juga terhadap tradisi Islam, serta bagimana juga umat Islam harus mengambil posisi dalam kancah pertarungan ideologi, politik, pemikiran, dan kebudaya- an modern saat ini? Jika kita harus merujuk pada masa silam Islam, pertanyaannya: Islam mana yang mungkin dapat dirujuk kembali dalam menghadapi situasi seperti itu dan juga bagaimana menarik ulang Islam tersebut ke pentas kehidupan modern?
Penulis buku ini, Ali Ahmad Said, atau yang lebih popular dengan nama Adonis, dalam buku ini, memetakan watak kecenderungan masyarakat Arab-Islam dalam menyikapai persoalan tersebut ke dalam dua kategori, yaitu watak imitatif (ittiba’) dan watak kreatif (ibda’) dalam keseluruhan perwujudan budaya dan peradaban mereka.
Dalam buku ini, Adonis begitu cermat menggambarkan dan memetakan kecenderungan pemikiran dan kebudayaan Arab-Islam. Ia berhasil memotret gerak kebudayaan Arab-Islam yang menurut- nya selalu terjadi pertentangan dan pertarungan antara pihak atau kelompok yang menginginkan ortodoksi (kemapanan) dengan pihak atau kelompok yang menginginkan perubahan dalam semua lini (teolgi, politik, budaya, hukum, dan bahasa-sastra-pusi), yang mana masing-masing kelompok merasa sebagai pihak yang benar. Tarik- menarik kepentingan dan juga perebutan klaim kebenaran itulah yang membuat gerak sejarah-kebudayaan Arab-Islam menjadi berkembang dinamis, meskipun di sisi yang lain terkadang justru memunculkan anomali dan bahkan tidak jarang juga memakan korban jiwa.
Di sini harus diakui bahwa konteks kajian buku ini adalah kehidupan masyarakat Arab-Islam. Namun demikian, hal itu bukan berarti bahwa buku ini tidak memiliki konteks dan relevansi untuk masyarakat Indonesia. Sebab, masyarakat di kedua wilayah ini memiliki banyak kesamaan secara sosiologis dan juga keagamaan sehingga persoalan-persoalan yang muncul di wilayah Arab-Islam juga memiliki banyak kesamaan dengan persoalan yang muncul di negeri ini, terutama terkait dengan bagaimana memahami dan menyikapi hubungan antara teks dasar Islam (Al-Qur’an) dan tradisi keilmuan Islam dengan modernisasi yang merambah ke seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesai.
Judul: Doa Tangisan dan Perlawanan; Refleksi Sosialisme Religius
Penulis: Ali Syariati
Penerjemah: Samson Rahman
Penerbit: Rausyan Fikr, 2012
ISBN: 978-602-18970-1-0
Bahasa: Indonesia
Jumlah halaman: 208 halaman
Jenis File: PDF
Besar file: 3,15Mb
Deskripsi:
Imam Ali Berdoa. ” Ya Allah! Jika kami menang, selamatkan kami dari tertipu oleh diri sendiri, kesemena-menaan, dan kezaliman. Ya Allah !jika kami kalah, hindarkan kehinaan dan perbudakan bagi kami semua.” Individu yang ingin berhasil dalam memikul tanggung jawab dan kepemimpinan sosial, seharusnya berdoa seperti diatas. Ya, doa mereka tidak boleh menjadi opium (candu) yang membunuh keberanian, kejantanan, perasaan dan kesadaran. Doa adalah manifestasi roh, ia tidak mengurung diri pada “realisme” vulgar , keterkungkungan dalam objek empiris atau pelecehan eksistensial. Setiap Revolusi memiliki dua misi. Misi pertama adalah darah, dan misi kedua adalah pesan. Kesyahidan (syahadah) bermakna ‘bangkit bersaksi’.
Orang-orang yang memilih kematian merah (kematian gemilang) adalah orang-orang yang ingin menunjukan cintanya terhadap kebenaran yang tengah dihancurkan dan terhadap nilai-nilai jihad yang dipandang sebagai senjata andalan yang kini berangsur diabaikan. Harus dicamkan bahwa seorang saksi tidak hanya bersaksi dihadapan Tuhan, tapi juga dihadapan manusia. ” Ali Syariati yang transenden, spiritualis, dan tetap realis dengan kesucian sejarah. Pemikirannya dalam buku ini menunjukan pribadinya yang gelisah dengan perjalanan sejarah yang reduksionistik, yang terpisah dengan kehidupan spiritual sebagai bagian dari eksistensi yang tidak terpisah dari diri dan kehidupan manusia.
Manusia eksistensinya adalah DOA dan KESAKSIAN. Penanya adalah Imam Ali, Imam Husein, Imam As-Sajad, lembaranya adalah sejarah. Syariati telah menuliskan lembaran sejarahnya dengan pena yang disucikannya melalui pengembaraan sejarah dan kebudayaan manusia. Penanya adalah Imamah dan lembaranya adalah Ummah.
Buku ini telah melambungkan nama penulisnya. Dr. 'Aidh Al-Qarni. seorang dokter dalam bidang hadits yang hafizh Qur'an. ribuan hadits. dan juga ribuan bait syair Arab kuno hingga modern.
Dalam usianya yang masih muda. ia telaah menjadi penulis paling produktif di Saudi Arabia saat ini. Di Indonesia. buku yang anda pegang ini mendapat sambutan luar biasa dan telah terjual ratusan ribu eksemplar .
Cerdas dalam menyampaikan pendapat sama pentingnya dari pesan yang disampaikan. Cara yang keliru bisa saja mengandaskan maksud yang baik. Maka, pendapat yang baik seharusnya dikemas dengan cara yang cerdas dan pilihan kata yang baik agar bisa diterima dan bermanfaat bagi orang lain.
Denny Siregar lewat tulisan-tulisannya mengajarkan bagaimana menyampaikan ide tanpa mendoktrin, menyetujui suatu hal tanpa menjatuhkan hal lain, menolak gagasan tanpa menghina, dan yang terpenting, mengajari tanpa menggurui. Dengan menggunakan bahasa yang usil, kreatif, dan kocak, dia mengajak pembaca untuk merenung.
Dalam buku ini, Bang Denny―begitu dia biasa dipanggil―dengan ditemani secangkir kopi yang menjadi ciri khas setiap tulisannya, mengajak kita merenung tentang Tuhan dan agama. Dia memaparkannya dengan gaya yang nakal dan berbeda namun tetap ringan dan mudah dipahami, membuat pembacanya manggut-manggut bahkan tersenyum sendiri.
Buku yang berada di tangan pembaca ini adalah kumpulan dan rangkuman dari sekian uraian pada pengajian yang dilaksanakan oleh Departemen Agama, Masjid Istiqlal, dan Forum Konsultasi dan Komunikasi Badan Pembinaan Rohani Islam (Fokkus Babinrohis) Tingkat Pusat atau apa yang lebih dikenal dengan Pengajian Eksekutif, ditambah dengan sekian makalah saya dalam beberapa media massa.
Sebenarnya, buku ini pada mulanya direncanakan menjadi buku kedua dari buku saya, Wawasan Al-Quran, terbit Maret 1996, yang menghimpun uraian-uraian pada Pengajian Eksekutif itu. Akan tetapi, untuk memenuhi keinginan banyak pihak yang mengharapkan uraian singkat, makalah-makalah panjang, khususnya yang disajikan pada Pengajian Eksekutif itu, dipilah-dipilah sehingga jadilah buku ini sebagaimana adanya.
Selanjutnya, karena sifatnya yang pendek dan yang terkadang tidak menyajikan ayat-ayat Al-Quran secara eksplisit, ia tidak lagi sepenuhnya sama dengan buku Wawasan Al-Quran yang mengambil metode tafsir maudhuV tematik atas pelbagai persoalan umat.
Hati sifatnya seperti yang diisyaratkan oleh kata padanannya, kalbu. Kalbu berasal dari bahasa Arab yang berakar dari kata kerja qalaba yang berarti "membalik". Dengan kata lain, hati berpotensi untuk berbolak-balik, yaitu di satu saat merasa senang dan di saat lain merasa susah, atau suatu kali mau menerima dan suatu kali menolak. Hati memang tidak konsisten, kecuali yang memperoleh bimbingan cahaya Ilahi. Dari sinilah, lentera diperlukan bagi hati manusia.
Lentera Ilahi adalah sekumpulan tulisan yang memiliki kekayaan topik beraneka ragam karya seorang pakar tafsir kondang yang salah satu buku karyanya, "Membumikan Al-Quran", meraih penghargaan Buku Terlaris Mizan 1993. Ditulis dengan gaya bahasa populer dan lugas (tidak berbelit-belit), buku ini diharapkan dapat membantu pembacanya untuk meraih -walaupun redup- secercah cahaya Ilahi guna menerangi hati yang gundah, gelisah, dan tidak memiliki kejelasan arah. Penulis berupaya mengangkat topik-topik aktual dan hangat yang beredar di dalam masyarakat, untuk kemudian di bahasanya secara jernih dengan menjadikan Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. sebagai sumber rujukannya.
Detail Buku :
Judul : Lentera Hati Penulis : Quraish Shihab Penerbit : Mizan ISBN : 979-433-019-1 Jenis file : PDF Jumlah Halaman : 267 Hal Besar file : 933 Kb Baca Online | Download PDF