Di sebuah desa kecil yang dikelilingi pegunungan dan sawah menghijau, terdapat sebuah ruang baca sederhana bernama Komunitas Ngejah. Di sanalah setiap senja, saat matahari mulai condong ke barat, kehangatan tak hanya hadir dari cahaya jingga yang menembus jendela, tapi juga dari tawa dan kisah yang mengalir di antara lembar-lembar buku.
Hari itu, seperti biasa, Pak Arman dan Bu Lela datang bersama ketiga anak mereka. Mereka bukan hanya pengunjung setia, tapi juga bagian dari komunitas yang percaya bahwa membaca adalah cara merawat mimpi. Dengan karpet warna-warni bergambar huruf-huruf abjad sebagai alasnya, mereka duduk melingkar, membuka halaman demi halaman buku cerita anak.
“Lihat, ini cerita tentang kura-kura dan kelinci,” kata Pak Arman sambil menunjukkan gambar pada bukunya, suaranya lembut, nyaris seperti bisikan. Si sulung, Dira, duduk manis di samping ibunya, mengikuti setiap kata yang dibacakan dengan mata berbinar.
Sementara itu, si kembar Adit dan Aksa, meski belum bisa membaca lancar, tetap menikmati kebersamaan itu. Mereka menatap gambar-gambar dalam buku, sesekali tertawa melihat ilustrasi yang lucu. Bu Lela, mengenakan kerudung merah yang hangat seperti hatinya, membaca dengan ekspresi dramatis, membuat anak-anak larut dalam cerita.
Di rak kayu di belakang mereka, ratusan buku tersusun rapi—sebuah harta karun yang dibangun dari sumbangan dan semangat gotong royong. Komunitas Ngejah bukan sekadar tempat membaca, tapi ruang tumbuh, tempat di mana keluarga, tetangga, dan anak-anak menemukan cinta lewat aksara.
Ketika langit mulai gelap dan suara azan maghrib menggema dari kejauhan, mereka menutup buku-buku dengan pelan. Dira menatap ayahnya dan berbisik, “Besok kita baca lagi, ya, Yah?”
Pak Arman tersenyum. “Tentu, Nak. Cerita tidak akan pernah habis selama kita mau membacanya.”
Dan senja itu pun ditutup dengan harapan kecil: semoga semua anak di desa itu bisa tumbuh dengan buku di tangan dan impian di hati.