Ukiran Cinta Maman dan Eras

Ukiran Cinta Maman dan Eras

Ukiran Cinta Maman dan Eras

Di sebuah desa kecil yang tenang, di kaki bukit yang senyap, hidup sepasang suami istri yang menjadi teladan bagi siapa saja yang mengenal mereka. Namanya Maman dan Eras. Mereka bukan pejabat, bukan pula orang kaya raya. Tapi cinta mereka telah terukir dalam kenangan banyak orang—seperti ukiran kayu yang tak lekang oleh waktu.

Pak Maman adalah sosok pria bersahaja, selalu mengenakan topi lusuh kesayangannya dan kemeja batik yang tetap rapi meski warnanya mulai pudar. Senyumnya hangat, matanya teduh, dan tutur katanya halus, seperti embun pagi di musim kemarau. Bu Eras, istrinya, selalu tampil dengan kerudung cokelat sederhana dan kacamata bundar yang membuat wajahnya tampak keibuan. Ia dikenal sabar, gemar membuat kue cucur dan menulis puisi diam-diam di buku catatan tua.

Setiap pagi, mereka akan duduk berdua di bangku bambu di beranda rumah kayu peninggalan orang tua. Di sana, mereka menyesap kopi hitam sambil mendengarkan suara alam—burung, angin, dan tawa anak-anak kecil di kejauhan. Tak banyak kata yang mereka ucapkan. Diam mereka adalah bahasa yang telah matang, penuh pengertian tanpa perlu dijelaskan.

“Masih ingat pertama kali kita bertemu di pasar waktu itu?” tanya Pak Maman suatu pagi.

Bu Eras tersenyum malu, “Kamu jatuhin cabai, aku pungutin. Ternyata cinta bisa jatuh juga ya, kayak cabai.”

Mereka tertawa bersama, tawa kecil tapi penuh makna. Anak-anak muda yang lewat di depan rumah sering berhenti sejenak, menyapa mereka. Bagi generasi muda, pasangan ini adalah inspirasi: cinta sejati itu ada, jika dijaga, jika dirawat, dan jika dimaknai dengan sederhana.

Satu hari, seorang pemahat muda datang. Ia ingin membuat relief dari pasangan yang telah membuktikan bahwa usia tak mampu menghapus cinta. Dengan izin mereka, ia mengukir wajah Maman dan Eras di atas kayu jati tua. Proyek itu butuh waktu berminggu-minggu. Dan saat akhirnya selesai, semua warga desa dikumpulkan.

Di tengah alun-alun, berdirilah sebuah karya seni luar biasa: sepasang wajah tersenyum, dikelilingi ukiran mawar dan huruf-huruf besar bertuliskan “MAMAN & ERAS.”

Orang-orang menatap kagum. Tapi Pak Maman hanya menoleh ke istrinya dan berkata lirih, “Lihat, cinta kita sekarang resmi jadi warisan.”

Bu Eras menahan air mata. Ia tahu, bukan karena patung itu yang membuat mereka abadi, tapi karena setiap tawa, tangis, perjuangan, dan keikhlasan selama puluhan tahun kini telah menjadi cerita, bukan hanya untuk mereka, tapi untuk dunia.

Dan pada ukiran itu, cinta mereka akan terus hidup. Selamanya.

*

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post