Pulang Kampung: Cermin yang Retak dan Tetap Memantul

Pulang Kampung: Cermin yang Retak dan Tetap Memantul

Setiap kali musim liburan datang—entah itu Lebaran, Natal, cuti bersama, atau sekadar jeda dari rutinitas yang membatu—kereta dan bus yang padat, jalan tol yang menggigil oleh ribuan roda, menjadi saksi sebuah arus ritual tahunan: pulang kampung.

Tak ada kata lain yang begitu bersahaja dan begitu sarat makna seperti "pulang kampung." Ia bukan sekadar perpindahan geografis dari kota ke desa, dari beton ke tanah, dari hiruk ke hening. Ia adalah perjalanan batin, kadang sentimental, kadang ambigu. Dan di antara lautan wajah yang kembali, terselip potret-potret anak muda—generasi yang kerap dituding kehilangan akar, tapi diam-diam menyimpan rindu pada tanah kelahirannya.

Pulang Kampung: Cermin yang Retak dan Tetap Memantul

Mereka datang dengan karakter yang beragam, seperti mozaik yang retak namun tetap membentuk gambar.

Ada yang pulang dengan gemerlap. Mereka yang membawa serta mobil baru, sepatu mahal, dan aksen yang entah dapat dari mana. Mereka melenggang di jalan desa seperti ingin mengatakan: "Lihat, aku berhasil." Kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka. Sebab dalam dunia yang begitu kompetitif, pulang kadang menjadi satu-satunya panggung untuk mengakui diri sendiri—di depan orang-orang yang dulu menyaksikan kita tumbuh dari luka dan lumpur.

Namun di sisi yang lebih sunyi, ada mereka yang kembali dan segera menyatu dengan senyap. Anak-anak muda yang menutup pintu kamar begitu sampai, tidur lebih lama dari biasanya, dan hanya keluar saat dipanggil untuk makan. Bagi mereka, pulang bukan tentang selebrasi, tapi semacam proses pemulihan. Barangkali luka yang dibawa dari kota terlalu banyak, terlalu dalam, dan kampung menjadi satu-satunya ruang yang tak menuntut apa-apa.

Lalu ada anak-anak muda yang kembali dengan wajah terbuka. Mereka hadir di pos ronda, menyapa ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian, atau membantu membersihkan lapangan desa untuk persiapan lomba tujuhbelasan. Mungkin mereka tak membawa gelar atau gaji besar, tapi membawa kepedulian yang tak kalah mulia. Mereka bukan hanya pulang, mereka kembali menyatu.

Di antara semua itu, kita juga temui mereka yang kembali untuk mengabadikan kampung dalam potongan-potongan story Instagram. Sawah, kucing, dan tempe goreng ibu menjadi konten digital yang berumur 24 jam, tapi meninggalkan kesan abadi: bahwa kampung masih bisa ‘estetik’ dan tak kalah dari coffee shop di Jakarta Selatan.

Dan ada juga yang datang membawa kekasihnya. Sebuah keberanian yang tak semua anak muda miliki. Mereka masuk ke rumah dengan tangan menggenggam tangan orang lain—sering kali diiringi detak jantung yang lebih cepat dari biasanya. Di meja ruang tamu, dua pasang mata orang tua menatap, tak selalu ramah, tapi penuh tanya. Cinta diuji bukan oleh restu langit, tapi oleh rendang dan obrolan basa-basi.

Sementara itu, mereka yang lain datang dengan alasan paling purba: lapar. Bukan lapar spiritual atau ideologis, tapi lapar literal. Lapar akan sayur asem buatan ibu, sambal terasi, dan nasi hangat dari tungku. Mereka makan seolah ingin membayar semua mie instan dan makanan beku yang menemani hari-hari kerja di kota. Pulang, bagi mereka, adalah kembali ke rasa.


Dalam diam dan ramai, pulang kampung adalah semacam perenungan yang tak selalu kita sadari. Ia menjadi cermin—meski retak—yang memperlihatkan siapa kita hari ini, dibanding siapa kita dahulu. Dalam cermin itu, ada tawa, ada pamer, ada luka, ada cinta, dan ada rindu yang barangkali tak sempat dikatakan.

Di kampung, waktu berjalan lambat. Tapi di sanalah, justru kita bisa melihat diri sendiri lebih cepat.

Dan pada akhirnya, pulang kampung bukan tentang tempat, tapi tentang perasaan. Dan seperti kata Chairil, "sekali berarti, sudah itu mati." Pulang kampung adalah peristiwa yang sederhana tapi dalam: ia memberi kita makna, sebelum kita kembali lagi ke dunia yang penuh sandiwara.

Previous Post Next Post