Di ufuk Garut Selatan dan Tasikmalaya Selatan, tempat matahari menyapa bukit-bukit hijau dengan lembut, berdiri sebuah tempat sederhana yang menyimpan mimpi besar. Namanya Saung Komunitas Ngejah—sebuah kata yang menggema di hati anak-anak desa, membawa harapan di tengah keterbatasan. Di sini, di antara jalan tanah dan rumah-rumah sederhana, lahir sebuah gerakan yang menolak diam pada nasib. Komunitas Ngejah, yang bermula sebagai Taman Bacaan Masyarakat, adalah titik awal dari sebuah perjalanan panjang: membawa pena, kertas, dan kamera ke tangan-tangan kecil yang haus akan ilmu.
Aku membayangkan, di suatu pagi yang sejuk sekitar tahun 2010-an, seorang pemuda berdiri di tengah saung bambu, dikelilingi wajah-wajah polos penuh rasa ingin tahu. “Kalian adalah mata dan telinga dunia,” katanya, “dan jurnalistik adalah cara kalian berbicara.” Dari sanalah Pelatihan Jurnalistik Pelajar (PJP) Komunitas Ngejah mengambil napas pertamanya. Bukan sekadar pelajaran, tetapi sebuah panggilan untuk mengeja mimpi, menorehkan cerita, dan mengabadikan dunia dalam kata dan gambar. Di tempat yang jauh dari gemerlap perpustakaan kota atau deru teknologi modern, Saung Komunitas Ngejah membuktikan bahwa semangat belajar tak pernah mengenal batas.