Sabtu siang, 18 Oktober 2025. Udara di Singajaya, Garut, terasa lembut, membawa aroma tanah dan dedaunan basah yang biasa menyelinap setelah pagi yang gerimis. Di sebuah ruangan sederhana milik Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Celah Cahaya, suasana tampak berbeda. Ada semacam denyut baru di udara: rasa ingin tahu, semangat, dan barangkali—sebuah harapan yang diam-diam tumbuh.
Beberapa puluh warga belajar, dari remaja hingga orang dewasa, duduk berhadapan dengan layar laptop atau gawai mereka. Di depan, seorang pria dengan wajah tenang tapi penuh energi—Pak Adi, guru dari SMK Negeri Bojonggambir—menjelaskan sesuatu yang bagi sebagian besar dari mereka adalah dunia yang baru: desain grafis. Bukan sekadar seni rupa digital, melainkan bahasa visual yang kini menjadi alat komunikasi dunia modern.
“Desain grafis bukan lagi hal yang sulit dan mahal,” katanya, suaranya mantap namun ramah. “Dengan Canva, siapa saja bisa membuat konten visual yang menarik.”
Kalimat itu sederhana, tapi bagi warga belajar PKBM Celah Cahaya, ia seperti membuka gerbang menuju dunia baru. Dunia yang selama ini terasa jauh, kini mendadak mungkin. Canva—aplikasi yang akrab bagi anak-anak muda di kota—di tangan mereka menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih terbuka.
Ada sesuatu yang mengharukan ketika melihat bagaimana seorang ibu rumah tangga yang terbiasa menakar beras di warung kecilnya kini sibuk memilih warna pastel untuk latar desain. Atau seorang pemuda yang dulu berhenti sekolah karena harus membantu orang tua, kini tersenyum puas setelah berhasil membuat poster promosi untuk usaha tempe ibunya.
Di saat yang sama, Pak Adi tidak sekadar mengajar. Ia mendengarkan, menuntun, dan memberi ruang bagi setiap warga belajar untuk mencoba. Di matanya, pendidikan bukan lagi transfer ilmu, melainkan perjumpaan manusia—antara yang tahu dan yang ingin tahu.
PKBM Celah Cahaya, sebagaimana namanya, bukan sekadar lembaga. Ia adalah metafora kecil tentang perjuangan pendidikan di tepian sistem. Di tengah keterbatasan fasilitas, sinyal internet yang kadang tersendat, dan perangkat seadanya, lembaga ini terus berupaya menyalakan lentera pengetahuan bagi mereka yang sering terlupakan oleh arus utama pendidikan formal.
Kepala PKBM Celah Cahaya, dalam sambutannya, menyampaikan rasa terima kasih kepada Pak Adi. “Kolaborasi ini sangat penting,” ujarnya, “karena kehadiran guru-guru SMK seperti beliau membuka wawasan baru bagi warga belajar kami. Mereka tidak hanya diajarkan keterampilan, tetapi juga diberi kepercayaan diri untuk berkreasi.”
Kata “kepercayaan diri” itu penting. Sebab pendidikan yang sejati bukan hanya tentang memberi tahu bagaimana, tapi menanamkan keyakinan bahwa mereka mampu. Dan keyakinan itulah yang pelan-pelan menyalakan cahaya dalam diri setiap peserta yang hadir hari itu.
Jika kita berhenti sejenak dan merenungkan, kegiatan seperti ini sebenarnya menyimpan makna yang lebih luas dari sekadar pelatihan keterampilan. Ia adalah potret kecil dari transformasi sosial—tentang bagaimana pengetahuan bisa menjadi alat pembebasan. Tentang bagaimana seorang guru dan sekelompok warga belajar di pelosok Garut sedang berpartisipasi, dalam skala yang sederhana tapi tulus, untuk membangun bangsa.
Di dunia yang serba cepat ini, di mana teknologi sering dianggap milik mereka yang “berpendidikan tinggi”, pertemuan semacam ini mengingatkan kita bahwa akses terhadap ilmu seharusnya tidak berhenti di pagar kampus atau di balik layar mahal. Pendidikan sejati adalah saat seorang guru mau datang, menurunkan egonya, dan duduk bersama masyarakat. Saat sebuah ruangan sederhana bisa menjadi ruang perubahan.
Di akhir sesi, ketika layar proyektor mulai diredupkan dan suara tawa warga belajar terdengar di sela-sela percakapan kecil, tersisa satu kesan yang sulit diabaikan: harapan. Bukan harapan yang megah, tapi harapan yang sederhana dan hangat—bahwa setiap orang, betapa pun latar belakangnya, punya hak yang sama untuk belajar dan berkembang.
Mungkin inilah yang disebut “cahaya” dalam nama PKBM itu. Bukan cahaya lampu atau simbol modernitas, tetapi cahaya yang tumbuh dari pertemuan antara kemauan dan kesempatan. Cahaya yang lahir dari semangat manusia untuk tidak berhenti belajar, bahkan ketika dunia tampak bergerak terlalu cepat.
Dari Singajaya yang jauh dari pusat hiruk pikuk kota, kita belajar bahwa pendidikan tidak selalu lahir dari ruang ber-AC dan modul berwarna. Ia bisa tumbuh dari ruang-ruang kecil, dari tatapan ingin tahu, dari tangan-tangan yang berani mencoba hal baru. Dan selama masih ada orang-orang seperti mereka—yang percaya bahwa belajar bisa mengubah hidup—maka bangsa ini, bagaimanapun berat langkahnya, masih memiliki cahaya untuk melangkah ke depan.
