Jejak Langkah di Hutan Kabut

Jejak Langkah di Hutan Kabut

Jejak Langkah di Hutan Kabut

Di belantara yang tak tercatat dalam peta manusia, di tempat suara burung hanya terdengar pada pagi yang tak pernah selesai, seorang lelaki berjalan perlahan bersama seekor serigala abu-abu bermata biru. Namanya tak lagi penting. Dunia sudah lama melupakannya, tapi hutan mengingat. Angin mengenal bau tubuhnya. Kabut menyambut langkah-langkahnya seperti sahabat lama.

Tubuhnya kekar, kulitnya legam digurat angin dingin dan panas api. Di bahunya tergantung busur kayu dari pohon tertua di lembah utara, dan di punggungnya tersampir anak-anak panah berbulu burung hitam. Rambutnya, sebagian dikepang, sebagian dipangkas, seperti simbol dari peperangan yang telah ia menangkan, atau mungkin kalah, di waktu yang tak bisa dihitung.

Di pipinya, dua garis hitam, tanda warisan dari suku yang pernah hidup untuk membela dunia yang sekarang hanya tinggal legenda. Tidak ada yang tahu namanya. Tapi mereka yang tinggal di ujung-ujung desa menyebutnya Si Penjaga Kabut.

“Serigala ini pernah mati, lalu hidup kembali saat aku memanggilnya dalam doa,” katanya suatu malam pada seorang anak yatim yang tersesat di rimba. Anak itu gemetar, tapi serigala hanya diam, duduk seperti patung, matanya menatap dalam-dalam, seolah menyimpan sejarah dunia dalam diamnya.

“Kenapa kau sendiri?” tanya si anak, setelah keheningan yang seperti hujan jatuh di dalam dada.

“Karena manusia lebih suka membakar hutan daripada mendengarnya,” jawabnya pendek. Suaranya tak keras, tapi berat. Seperti tanah lembap yang mengubur rahasia para leluhur.

Ia berjalan tak untuk berburu. Ia menjaga. Tidak hanya binatang dan pohon, tapi juga bisikan-bisikan dalam kabut yang menyimpan puisi-puisi purba. Setiap malam, ia duduk di atas batu besar, membacakan doa dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh semut dan angin.

Kadang, orang-orang yang hilang ditemukan terbaring tenang di pinggir hutan, tubuh mereka hangat meski semalam hujan mengguyur. Di dada mereka terletak bunga liar ungu—bunga yang hanya tumbuh di jalur yang dilewati pria itu.

Konon, jika kau melihat serigala bermata biru di balik kabut, jangan melarikan diri. Diamlah. Tutup matamu. Ia akan memanggil pria itu, dan kau akan diselamatkan—atau dilupakan, jika hatimu penuh racun.

Di dunia yang kian tak mengenal batas antara yang nyata dan gaib, dia tetap berjalan. Di antara pakis, suara daun yang patah, dan doa yang tak pernah berhenti.

Dan hutan, meski berkabut, selalu mengingat jejak langkahnya.


*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم