Cerita Pendek: Luka yang Membekas, Harapan yang Tumbuh |
Cerita Pendek: Luka yang Membekas, Harapan yang Tumbuh
Ketika dunia terasa terlalu bising dan batin terasa sunyi, kadang yang kita butuhkan bukanlah pelarian, tapi pemahaman.
Sinar matahari menembus jendela kamar, menyentuh wajah Nara yang masih sembab oleh tangis semalam. Jendela itu entah sejak kapan terbuka, dan pagi ini, terasa lebih dingin dari biasanya—bukan karena cuaca, tapi karena hati yang masih beku oleh luka semalam.
Nara duduk perlahan di sisi ranjang mungilnya. Di tengah keheningan kamar, suara pecahan kaca dari luar rumah mengoyak suasana. Ia refleks menutup telinga—tidak ingin lagi mendengar atau tahu apa pun yang terjadi. Air mata kembali jatuh, menelusuri pipinya yang sudah terlalu sering basah oleh kesedihan.
Langkah kaki Nara membawa tubuh lelahnya keluar rumah. Ia berjalan menunduk menyusuri jalanan sepi, seolah malu jika dunia melihatnya. Di bawah cahaya pagi, ia memperhatikan bayangan dirinya yang tampak ringkih. Namun, langkahnya terhenti saat seseorang berdiri tepat di depan bayangan itu.
“Aku ingin bicara,” kata suara itu. Nara mendongak. Wajah yang familiar muncul di hadapannya—Nina, anak dari istri pertama ayahnya.
“Kenapa kamu ada di dunia ini?!” bentaknya, tanpa ampun. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nara.
“Pergi! Hilang dari dunia ini! Dasar perusak keluarga orang!”
Ucapan itu mengoyak hati Nara lebih dalam dari tamparan di pipinya. Ia hanya memegang wajahnya yang perih, menunduk, dan menahan isak yang makin tak terbendung.
Dulu, hidup Nara sempurna. Atau setidaknya, terlihat sempurna. Ia tumbuh dengan cinta dan kecukupan. Namun semuanya runtuh ketika satu rahasia terbongkar—ayahnya ternyata sudah berkeluarga sebelum menikahi ibunya. Dan lebih menyakitkannya lagi, istri pertama ayahnya adalah sahabat ibunya sendiri.
Sejak saat itu, hidup Nara berubah menjadi neraka. Ibu yang ia cintai dicap sebagai perebut suami orang. Ia sendiri dianggap anak yang tak sah, sumber kehancuran. Tak ada tetangga yang mau menerima mereka. Cemoohan, teror, hingga kekerasan mental menjadi makanan sehari-hari.
Ketika Nina mengetahui semua itu, ia tak sanggup menahan amarah. Gadis itu merasa dunia telah mengkhianatinya. Dan balas dendam pun mulai menyasar rumah Nara. Dari kaca jendela yang dilempar batu hingga ancaman yang membuat hidup mereka semakin tak tenang.
“Nara? Sayang, kamu di dalam, kan?” Suara lembut ibunya membuyarkan lamunan. Ketukan pelan terdengar dari balik pintu. “Kita harus bicara soal rencana pindah,” lanjut ibunya.
Keluarga mereka memang berencana pindah, jauh dari semua ini. Tapi di mata Nara, pindah hanyalah pelarian. Bekas luka di jiwa tak bisa sembuh hanya dengan pindah tempat. Ia tahu, dirinya tetap akan dihantui oleh trauma, rasa bersalah, dan kehilangan harapan.
Dalam keheningan malam berikutnya, Nara duduk dengan gunting hijau di tangannya. Ia menatap benda itu lama. “Mungkin… ini jalan terbaik,” pikirnya. Jalan keluar dari semua luka yang tak terlihat. Dari suara-suara yang terus menyalahkan. Dari dunia yang terasa tak lagi memberi tempat untuknya.
Namun, saat ia memejamkan mata dan bersiap, seberkas cahaya menyinarinya. Bukan cahaya dari luar, tapi seperti dari dalam dirinya. Ada perasaan aneh, ringan, damai. Untuk sesaat, ia merasa bebas—bebas dari semua tekanan, hinaan, dan ketakutan.
Di depan tubuhnya yang tak bernyawa, tangisan ayah dan ibunya pecah. Mereka memeluk Nara erat, seolah ingin menarik kembali semua yang telah terjadi. Tapi waktu tak bisa diputar. Penyesalan selalu datang di akhir cerita.
Nara, dalam bayangan terakhirnya, tak lagi merasa marah atau kecewa. Ia merasa tenang. Ia merasa damai. Ia akhirnya merasa… bebas.
Kisah Nara adalah pengingat bahwa tidak semua luka terlihat. Tidak semua jeritan terdengar. Dan tidak semua keheningan berarti baik-baik saja.
Jika kamu mengenal seseorang yang tampak diam, menyendiri, atau menunjukkan tanda-tanda kelelahan mental—jangan diam. Dengarkan. Peluk. Temani. Kadang, kehadiran kita bisa jadi cahaya kecil di tengah gelap mereka.
Jangan biarkan satu jiwa pun merasa sendiri di dunia ini.
#MentalHealthAwareness | #CeritaPendek | #TraumaKeluarga | #SelfHealing
📌 Artikel ini dipublikasikan oleh Kang Ruli. Dukung penyebaran cerita bermakna dengan membagikannya ke media sosialmu.