Merawat Imajinasi di Taman Baca Kecil Kampungku

Merawat Imajinasi di Taman Baca Kecil Kampungku

Oleh: Ruli Lesmana

Beberapa hari lalu, di sela istirahat dari pekerjaan yang melelahkan, saya menyempatkan diri singgah di taman baca kecil di kampung halaman. Seperti ritual kecil yang tak pernah usang, saya duduk diam, membenahi buku-buku yang berjajar di rak kayu Taman Baca AIUEO.

Tempat ini bukan sekadar tumpukan buku berdebu; ia adalah ruang sederhana yang letaknya tak jauh dari hamparan hijau perkebunan teh Sambawa—tempat di mana dulu kami belajar bermimpi di antara semilir angin dan aroma pucuk teh.

Taman baca ini sederhana. Rak kayunya mulai lapuk, lantai bambu sudan mulai retak. Namun, semangat yang menghidupinya tetaplah utuh.

Setiap sore, dua atau tiga anak datang, membuka buku-buku lusuh dengan warna yang mulai memudar, membiarkan imajinasi mereka berkelana ke negeri-negeri jauh yang hanya bisa mereka kenal lewat kata-kata.

Di mata saya, taman baca ini adalah keajaiban kecil yang tumbuh dari ketulusan.

Tak ada pendanaan besar, tak ada seremoni meriah. Hanya semangat gotong royong: beberapa relawan muda yang setiap sore mengisi ruang kosong dengan cerita, tawa, dan harapan.

Melihat pemandangan itu, hati saya seringkali disergap rasa haru.

Di tengah dunia yang kian hiruk-pikuk, masih ada tempat di mana membaca dianggap penting, di mana anak-anak diajak bermimpi tanpa paksaan.

Saya teringat, bagaimana bangsa-bangsa besar memuliakan ruang-ruang pendidikan rakyat seperti ini.

Di Skandinavia, taman baca, perpustakaan keliling, bahkan festival literasi desa, dibiayai negara sebagai bagian dari membangun manusia—agar mereka berdiri tegak, penuh percaya diri, bukan semata bergantung pada kekayaan alam.

Bangsa yang kuat bukanlah bangsa yang dipenuhi pencakar langit, melainkan bangsa yang menyediakan banyak ruang tumbuh bagi imajinasi anak-anaknya.

Ke mana pun saya pergi, saya selalu mencari denyut budaya lokal: seni rakyat, pasar tradisional, ruang baca kecil, panggung-panggung sederhana di pinggir jalan.

Seperti di Jepang, ada Kominkan—pusat komunitas di setiap desa yang bukan sekadar tempat kursus, tapi juga ruang membangun harga diri dan semangat kolektif.

Di sekitar Garut Selatan, Komunitas Ngejah pernah membangun pojok-pojok bacaan, bekerja sama dengan madrasah dan rumah-rumah warga.

Buku-buku itu dititipkan tanpa syarat, tanpa administrasi berbelit, hanya atas dasar satu hal: kepercayaan dan semangat berbagi.

Semangatnya sama, di mana pun: mempercayai manusia.

Taman baca di kampung saya mungkin tak semegah itu.

Namun ia mengajarkan satu hal yang lebih berharga: bahwa akses terhadap ilmu tidak seharusnya bergantung pada banyaknya uang, melainkan pada besarnya cinta.

Melihat anak-anak membaca sambil berselonjor di lantai bambu yang dingin, saya merenungi kembali nilai-nilai kesederhanaan dan penghormatan terhadap proses.

Seperti ajaran filsafat Timur: tubuh, pikiran, dan jiwa harus dijaga keharmonisannya agar manusia tetap berjalan lurus di tengah jalan hidup yang berliku.

Dari taman baca sederhana ini, saya belajar lagi tentang merawat kesadaran diri dalam dunia yang terus berubah.

Di taman baca ini, cerita-cerita yang dibaca anak-anak bukan hanya tentang kemenangan, melainkan tentang perjalanan.

Tentang jatuh dan bangun.

Tentang salah yang diperbaiki.

Tentang mimpi yang disiram dengan sabar di tanah harapan.



Karena di taman baca sederhana seperti ini, tidak ada wilayah abu-abu: belajar adalah keharusan, bermimpi adalah hak, dan memperjuangkannya adalah bentuk kesadaran paling jujur yang bisa kita rawat bersama.

Previous Post Next Post