D.N. Aidit dan Literasi: Gerakan Literasi Politik dan Pendidikan Rakyat Indonesia 1950–1965

D.N. Aidit dan Literasi

Abstrak

Tulisan ini membahas peran Dipa Nusantara (D.N.) Aidit dalam membangun gerakan literasi politik di Indonesia pada periode 1950–1965, khususnya melalui program-program Partai Komunis Indonesia (PKI). Kajian ini menyoroti tiga aspek utama: (1) kampanye Pemberantasan Buta Huruf (PBH) 1957, yang menargetkan kaum buruh dan tani; (2) pendirian Universitas Rakjat (UNRA) dan lembaga pendidikan rakyat lain sebagai sarana kaderisasi ideologis; serta (3) produksi literatur populer, pamflet, dan terjemahan karya Marxis-Leninis sebagai alat modernisasi politik. Hasil kajian menunjukkan bahwa Aidit menempatkan literasi bukan hanya sebagai keterampilan baca-tulis, melainkan juga sebagai instrumen transformasi politik dan sosial. Meskipun demikian, warisan literasi Aidit kemudian menghadapi kontroversi politik pasca-1965, yang masih memengaruhi wacana literasi hingga kini.

Kata kunci: D.N. Aidit, PKI, literasi politik, pendidikan rakyat, Universitas Rakjat.


1. Pendahuluan

Pasca-proklamasi kemerdekaan 1945, Indonesia menghadapi tantangan besar di bidang pendidikan. Tingkat buta huruf mencapai lebih dari 70% penduduk, terutama di daerah pedesaan dan kalangan buruh-tani. Pemerintah Republik Indonesia berupaya menekan angka buta huruf melalui berbagai program pendidikan dasar. Namun, keterbatasan sarana, tenaga pendidik, dan akses menyebabkan hasil yang diperoleh belum signifikan.

Dalam situasi inilah, Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah kepemimpinan D.N. Aidit menempatkan literasi sebagai agenda politik strategis. PKI berargumen bahwa pemberantasan buta huruf bukan hanya persoalan teknis pendidikan, tetapi juga bagian dari perjuangan membangun kesadaran kelas dan memperkuat basis politik rakyat. Oleh karena itu, literasi dipadukan dengan pendidikan ideologis, sehingga setiap orang yang belajar membaca juga diperkenalkan dengan gagasan tentang keadilan sosial, organisasi massa, dan modernisasi masyarakat.

Aidit sendiri menyadari bahwa tanpa literasi, rakyat akan kesulitan memahami gagasan politik modern, termasuk demokrasi, hak buruh, atau imperialisme. Karena itu, ia mendorong PKI untuk membangun “literasi politik” yang lebih luas dari sekadar membaca-menulis teknis.


2. Tinjauan Pustaka

2.1. D.N. Aidit dan Konteks Politik 1950–1965

D.N. Aidit (1923–1965) menjadi Ketua PKI sejak 1951, menggantikan kepemimpinan lama yang melemah setelah pemberontakan Madiun 1948. Di bawah Aidit, PKI bangkit sebagai partai massa dengan jutaan anggota dan jaringan organisasi sayap (BTI, SOBSI, Gerwani, Pemuda Rakyat). Dalam kerangka ini, literasi menjadi sarana konsolidasi massa sekaligus strategi politik untuk memperluas pengaruh.

2.2. Literasi sebagai Instrumen Politik

Literasi dalam tradisi PKI tidak dipahami secara sempit. Ruth McVey dalam Mengajarkan Modernitas menegaskan bahwa Aidit melalui Agitprop (Agitasi-Propaganda) berupaya menghadirkan kosakata politik baru kepada rakyat. Literasi dimaknai sebagai pintu masuk menuju kesadaran kelas, kemampuan membaca situasi politik, serta partisipasi aktif dalam perjuangan sosial.

2.3. Pendidikan Alternatif: Universitas Rakjat

Beberapa studi mencatat pendirian Universitas Rakjat (UNRA) pada 1958 sebagai tonggak penting dalam pendidikan alternatif. UNRA memiliki kurikulum yang memadukan ilmu pengetahuan dasar dengan teori politik, dan didirikan cabangnya di berbagai daerah. Selain UNRA, PKI juga mendirikan Mipera (setara SMA), Bapera (setara SMP), dan Panpera (setara SD), sehingga rakyat miskin yang tidak mampu mengakses pendidikan formal tetap memperoleh kesempatan belajar.

2.4. Program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) 1957

Pada 1957, Aidit meluncurkan program PBH dengan target 5 juta rakyat tani dan buruh. PKI melibatkan Barisan Tani Indonesia (BTI) untuk menggerakkan kelompok belajar di desa-desa. Uniknya, pengajaran disesuaikan dengan siklus panen agar tidak mengganggu pekerjaan tani. Selain belajar membaca, peserta diperkenalkan pada istilah politik sederhana seperti “imperialisme”, “kapitalisme”, dan “gotong royong”.


3. Metodologi

Tulisan ini merupakan kajian literatur kualitatif. Data diperoleh dari:

  1. Sumber akademik (Ruth T. McVey, tesis/skripsi Universitas Indonesia mengenai UNRA, arsip PBH).

  2. Artikel populer dan berita (Tirto, Kumparan, Tatkala, CNN Indonesia) yang merekam memori kontemporer.

  3. Sumber ensiklopedis (Wikipedia, sebagai rujukan awal biografis).

Analisis dilakukan dengan pendekatan deskriptif-analitis, menekankan hubungan antara literasi, politik, dan ideologi pada masa kepemimpinan Aidit.


4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Literasi sebagai Alat Modernisasi Politik

Agitprop PKI menekankan bahwa literasi bukan hanya mengajarkan huruf, tetapi juga “bahasa politik baru”. Pamflet “7 Tuntutan Pemberantasan Buta Huruf” (1957), misalnya, tidak hanya berisi panduan teknis, tetapi juga memuat penjelasan mengenai pentingnya organisasi rakyat. Literasi dimaknai sebagai langkah menuju “modernitas politik” di mana rakyat desa bisa memahami isu nasional maupun internasional.

4.2. PBH 1957: Membaca, Menulis, dan Berpolitik

Program PBH dijalankan secara kolektif. Guru berasal dari kader PKI, sedangkan muridnya adalah petani, buruh, dan ibu rumah tangga. Materi pengajaran memadukan huruf-huruf sederhana dengan istilah politik. Contohnya, saat mengajarkan kata “i-m-p-e-r-i-a-l”, guru akan menjelaskan makna imperialisme secara sederhana. Hal ini menjadikan proses belajar membaca sekaligus pendidikan politik.

4.3. Universitas Rakjat dan Pendidikan Ideologis

UNRA menjadi eksperimen pendidikan alternatif yang unik. Dengan ratusan cabang, UNRA membuka kelas malam untuk buruh dan tani, mengajarkan ekonomi, sejarah, dan organisasi sosial. Kurikulum UNRA jelas ideologis, tetapi juga praktis—misalnya memberikan kursus pertanian, keterampilan, dan hukum agraria. Dengan demikian, UNRA memperlihatkan integrasi antara literasi, keterampilan, dan kesadaran politik.

4.4. Literasi sebagai Kaderisasi Politik

Bagi Aidit, literasi adalah fondasi kaderisasi. Kader PKI yang bisa membaca dan menulis dianggap lebih mampu memimpin diskusi, menulis laporan, dan menyebarkan propaganda. Karena itu, literasi tidak berhenti di level teknis, tetapi terus diarahkan ke jenjang ideologis.

4.5. Kontroversi Pasca-1965: Literasi yang Dibungkam

Setelah 1965, semua program literasi PKI dihentikan. Buku-buku Aidit dilarang, dan UNRA dibubarkan. Bahkan hingga kini, upaya membaca atau membicarakan literasi Aidit seringkali dicurigai sebagai upaya “menghidupkan komunisme”. Kasus penyitaan buku Aidit oleh aparat di Probolinggo tahun 2019 menunjukkan bagaimana warisan literasi ini masih menimbulkan ketegangan politik.


5. Diskusi

Studi ini memperlihatkan bahwa literasi di bawah Aidit berfungsi sebagai praktik sosial-politik. Ia tidak netral, tetapi diarahkan untuk membangun kesadaran kolektif dan mendukung ideologi partai. Hal ini membuka dua perspektif:

  1. Positif, literasi Aidit berhasil menjangkau kelompok marginal (tani-buruh) yang jarang tersentuh sekolah formal.

  2. Kritik, literasi tersebut sarat muatan politik, sehingga berpotensi mengekang keberagaman wacana.

Dari sini, literasi dapat dilihat sebagai instrumen yang ambivalen: membebaskan sekaligus membatasi, tergantung pada kepentingan politik yang mendasarinya.


6. Kesimpulan

D.N. Aidit menempatkan literasi sebagai strategi politik sekaligus pendidikan rakyat. Melalui PBH 1957, UNRA, dan produksi literatur populer, Aidit berusaha mencetak rakyat melek huruf sekaligus melek politik. Jejak ini memberikan pelajaran penting: bahwa literasi bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga soal siapa yang mengendalikan wacana. Kontroversi warisan Aidit hingga kini menunjukkan bahwa literasi selalu berhubungan dengan kekuasaan, memori, dan ideologi.


7. Saran Penelitian Lanjutan

  1. Studi arsip PBH secara detail untuk memetakan metode pedagogi PKI.

  2. Sejarah lisan dengan mantan kader atau murid UNRA.

  3. Perbandingan dengan kampanye literasi di Kuba atau Tiongkok untuk melihat persamaan dan perbedaan strategi.


Daftar Pustaka

  • McVey, R. T. (1965). The Rise of Indonesian Communism. Cornell University Press.

  • McVey, R. T. (1981). Mengajarkan Modernitas (terjemahan).

  • Wikipedia. (2025). “D.N. Aidit.” Retrieved from https://en.wikipedia.org/wiki/D._N._Aidit

  • Kumparan. (2019). “Literasi sebagai Senjata Kaum Kiri.”

  • Tirto.id. (2019). “Cara Komunis Kuba Berantas Buta Huruf.”

  • Tatkala.co. (2023). “Sisi Lain D.N. Aidit: Tokoh PKI dan Aktivis Literasi.”

  • UI Library. (2018). Dinamika Program Pendidikan Komunis Universitas Rakyat, 1958–1965.

  • CNN Indonesia. (2019). “MUI Ambil Alih Buku Bertema Aidit Milik Pegiat Literasi.”

Previous Post Next Post

Gadgets