Di kompleks perumahan Asri Indah, Bu Mirna adalah bunga melati. Wangi namanya semerbak di setiap sudut. Orangnya ramah, tutur katanya lembut, dan senyumnya tak pernah lekang dari bibir. Ia adalah panutan para ibu, sahabat bagi semua orang. Tak ada yang tahu, di balik kelopak putih nan suci itu, tersimpan getah yang beracun. Hatinya adalah rawa busuk, dan mulutnya adalah corong dari rawa itu.
Setiap pagi, setelah suaminya berangkat kerja, Bu Mirna akan memulai ritualnya. Ia akan menyiram tanaman di teras rumahnya, sebuah panggung kecil untuk pertunjukannya. Dari sana, ia bisa melihat semua aktivitas tetangga.
"Bu Sinta, pagi sekali sudah repot. Anaknya pasti senang ya punya ibu serajin ini," sapanya pada seorang ibu muda yang tampak kelelahan mengejar balitanya. Bu Sinta tersenyum malu.
Namun, saat Bu Sinta sudah masuk ke dalam rumah, dan Bu Leni dari seberang jalan menghampiri, nada Bu Mirna berubah. "Kasihan Bu Sinta itu," bisiknya dengan raut wajah penuh simpati palsu. "Sepertinya dia kewalahan mengurus anak. Tadi saja anaknya lari-larian tidak pakai sandal, dibiarkan saja. Kalau saya sih, tidak akan tega."
Mulutnya adalah pisau bermata dua. Di hadapan Rina, seorang gadis yang baru membuka usaha katering kecil-kecilan, ia memuji setinggi langit. "Kue buatanmu ini enak sekali, Rin. Pasti sukses besar nanti!"
Namun, kepada ibu-ibu arisan, ceritanya lain. "Saya bukannya mau menjelekkan, ya, Bu-ibu. Tapi kemarin saya cicipi kue buatan Rina. Manisnya bukan main, sepertinya pakai pemanis buatan yang murah itu. Kita harus hati-hati, kasihan ginjal kita."
Benih keraguan itu ia tanam di mana-mana. Pelan-pelan, pesanan katering Rina menurun. Bu Sinta mulai dicap sebagai ibu yang lalai. Semua terjadi begitu halus, tak ada yang menyalahkan Bu Mirna. Ia tetaplah sang melati yang wangi.
Puncak kebusukan hatinya terungkap pada suatu sore yang mendung. Pak RT mengumumkan bahwa akan ada penggalangan dana untuk Pak Burhan, satpam kompleks yang istrinya sakit keras. Dengan sigap, Bu Mirna menawarkan diri menjadi koordinator. Ia berkeliling dari rumah ke rumah dengan sebuah kotak sumbangan dan buku catatan, tak lupa dengan senyum malaikatnya.
Dua hari kemudian, ia menyerahkan uang sumbangan kepada Pak RT. "Alhamdulillah, Pak. Terkumpul lima juta rupiah. Semoga bisa membantu meringankan beban Pak Burhan," ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Semua orang terharu dan memuji kemuliaan hatinya.
Namun, ada satu orang yang curiga. Adalah Dani, remaja pendiam putra Pak RT, yang kebetulan melihat Bu Mirna di sebuah toko emas sehari sebelumnya. Ia melihat wanita itu membeli sebuah gelang yang cukup mewah.
Didorong rasa penasaran, Dani diam-diam membuka kembali rekaman CCTV yang terpasang di depan rumahnya. Dengan sabar, ia mengamati rekaman saat Bu Mirna datang untuk menyerahkan donasi. Matanya yang jeli menangkap sesuatu. Saat Bu Mirna mengeluarkan buku catatan dari tasnya, secarik kertas lain ikut terselip dan jatuh tanpa disadari di bawah kursi teras.
Setelah Bu Mirna pulang, Dani segera mengambil kertas itu. Jantungnya berdebar kencang. Itu adalah catatan sumbangan yang asli. Nama-nama warga tertera di sana dengan nominal yang mereka berikan. Jika ditotal, jumlahnya mencapai delapan juta rupiah. Tiga juta lebih banyak dari yang diserahkan.
Malam itu juga, di pertemuan warga, kebenaran diungkap. Pak RT, dengan wajah pias menahan amarah dan malu, menunjukkan dua buku catatan itu. Catatan asli dari kertas lecek yang ditemukan Dani, dan catatan palsu yang dibuat oleh Bu Mirna.
Keheningan yang mencekam menyelimuti aula. Semua mata tertuju pada Bu Mirna. Wajahnya yang biasa dihiasi senyum, kini pucat pasi seperti mayat. Tak ada lagi kata-kata lembut yang bisa ia rangkai. Mulutnya terkunci, tak mampu membela diri dari kebusukan hatinya sendiri yang kini tumpah ruah di hadapan semua orang.
Wangi melati itu seketika sirna, digantikan oleh bau busuk yang menusuk. Orang-orang akhirnya sadar, selama ini mereka hidup di samping rawa beracun. Bu Mirna tertunduk lesu. Hatinya yang busuk telah lama meracuni sekitarnya melalui mulutnya, dan kini, racun itu akhirnya mematikan dirinya sendiri.