Matahari terik membakar punggungku saat aku mengangkat galon air ke dispenser. Beratnya bukan di tangan, melainkan di benakku. Galon ini sudah seperti metafora hidupku: terlalu berat untuk kubawa sendiri, dan selalu ada orang lain yang "membantu" tapi dengan syarat tertentu.
Ada Dewi, yang selalu siap membantu menawar barang di pasar. Dia selalu bilang, "Kamu itu terlalu polos, nanti ditipu." Setelah itu, dia akan mengomel panjang lebar tentang betapa borosnya aku, betapa buruknya seleraku, dan betapa beruntungnya aku punya teman sebaik dia. Bantuan darinya selalu berbungkus kritik yang melukai.
Lalu ada Rudi, tetangga yang ahli memperbaiki keran bocor. Setiap kali aku minta tolong, dia datang dengan wajah pahlawan. "Untung ada saya. Kalau tidak, rumahmu sudah jadi kolam renang." Setelah selesai, dia akan duduk di sofa, meminum kopi yang kubuatkan, dan menceritakan gosip-gosip terbaru tentang tetangga lain, sambil sesekali menyindir betapa tidak mandirinya aku sebagai perempuan.
Hidupku terasa seperti panggung pertunjukan, di mana aku adalah pemeran utama yang cacat dan mereka adalah penonton yang berbaik hati memberikan tepuk tangan, tapi sambil melempar telur busuk. Aku tidak pernah bisa menikmati keberhasilan kecil tanpa ada suara yang merusak. Aku tidak pernah bisa merasa bangga pada diri sendiri karena ada saja yang "mengoreksi."
Puncaknya adalah saat aku mencoba membuat kue. Aku sudah bersemangat sekali. Rudi, yang kebetulan lewat, melihat adonanku. "Adonanmu terlalu encer," katanya sambil tertawa. "Pasti tidak akan mengembang." Lalu Dewi datang, melihat resep yang kubaca. "Resep dari internet? Pasti tidak akurat. Harusnya pakai resep ibuku." Mereka berdua sibuk berdebat tentang cara membuat kue yang benar, sementara aku berdiri di tengah dapur, tanganku gemetar, dan air mata mulai menetes. Kueku, yang tadinya simbol kebahagiaan, berubah menjadi simbol kegagalan.
Aku akhirnya menyadari, mereka tidak membantuku. Mereka hanya memanfaatkan ketidakberdayaanku untuk membuat diri mereka merasa lebih hebat. Bantuan mereka adalah racun yang membuatku semakin bergantung dan semakin meragukan diri sendiri.
Malam itu, setelah galon terisi dan keran tidak bocor, aku duduk sendirian di kamar. Aku menatap cermin dan melihat diriku. Ada ketakutan, ada kesedihan, tapi untuk pertama kalinya, ada tekad. Besok, aku akan belajar. Aku akan belajar memasang galon sendiri. Aku akan belajar memperbaiki keran. Aku akan belajar membuat kue yang enak. Aku akan belajar hidup tanpamu.
0 Comment