Sore di Saung: Belajar, Buku, dan Liwet Bu Ine

Sore di Saung: Belajar, Buku, dan Liwet Bu Ine
Sore di Saung: Belajar, Buku, dan Liwet Bu Ine

Minggu itu bergerak pelan menuju sore. Angin berhembus ringan, membawa aroma dedaunan yang basah dan suara-suara kampung yang menjauh ke belakang. Di Saung Komunitas Ngejah, suasana masih hidup. Komputer tua di pojok ruangan menyala dengan tenang, dan di depannya duduk tiga orang: Kang Ruli, Rivan, dan Nanda.

Sejak pagi mereka belajar dasar-dasar komputer. Tentang mengetik yang benar, menyusun dokumen dengan pengolah kata, menyimpan file, dan memahami mengapa teknologi tidak sekadar alat, tapi jembatan menuju dunia yang lebih adil bila digunakan dengan benar.

“Jangan buru-buru paham,” kata Kang Ruli. “Yang penting terus coba. Ilmu itu seperti air: tak bisa ditelan sekaligus, harus dihirup perlahan-lahan.”

Rivan dan Nanda mengangguk. Tangan mereka masih kaku di papan ketik, tapi semangat mereka sudah tumbuh. Ada rasa bangga dalam diri mereka—bukan karena hebat, tapi karena hari ini mereka tidak diam.

Selesai belajar, Kang Ruli berdiri dan menyeka keringat dari pelipisnya. “Sekarang kita bereskan buku-buku taman baca Aiueo,” katanya. “Kalau kata tidak dirawat, ia bisa hilang.”

Rak-rak di sudut saung penuh buku-buku lama. Beberapa masih utuh, lainnya sudah menguning di tepi-tepinya. Mereka menyortir, mengelap sampul, menyusun ulang berdasarkan jenis dan usia pembaca. Tangan-tangan muda itu bekerja dengan hati, karena mereka tahu: buku adalah jendela, dan tugas mereka adalah menjaganya tetap terbuka.

Hari makin sore. Cahaya matahari condong dan mulai menipis di sela dinding bambu. Dari arah dapur, aroma harum mulai tercium. Bu Ine—istri Kang Ruli—sudah sejak siang menanak liwet di pawon kecil belakang saung. Bukan karena diminta, tapi karena ia tahu: kerja dan ilmu, mesti ditutup dengan makanan yang menghangatkan tubuh dan hati.

Mereka duduk di tikar hijau, menghadap piring sederhana berisi nasi liwet, sambal terasi, tempe goreng, dan daun kemangi segar. Tak ada upacara. Tak ada seremonial. Hanya terima kasih dalam diam, dan rasa cukup yang tak perlu dijelaskan.

“Terima kasih, Bu Ine,” kata Nanda pelan.

Bu Ine hanya tersenyum, tangannya sibuk menuangkan air hangat ke gelas-gelas plastik.

Hujan belum turun. Tapi langit sudah memberi tanda. Dan sebelum malam datang, tiga orang itu—dengan pikiran yang lebih terang dan perut yang lebih kenyang—telah menyelesaikan satu hari kecil yang sederhana, tapi bermakna.

أحدث أقدم