Lencana merah putih itu selalu tersemat di dadanya. Meski langkahnya sudah tertatih dan rambut memutih, semangatnya tak pernah padam. Di mana pun ia berada, lencana itu selalu menyala seperti api kecil yang tak kunjung padam—simbol cinta dan kesetiaannya pada Tanah Air. Lelaki tua itu bukan tokoh fiksi. Ia adalah saksi sejarah, sosok nyata yang pernah menapaki hutan dan medan perang bersama para pahlawan. Ia merasakan sendiri getirnya perjuangan melawan penjajah, menghirup bau mesiu, dan menyaksikan gugurnya kawan-kawan seperjuangan. Kini, semua sahabat seperjuangannya telah berpulang. Tapi ia masih diberi karunia hidup. "Aku diberi waktu lebih lama," gumamnya, "mungkin untuk menyaksikan apakah perjuangan kami dulu benar-benar tak sia-sia." Tidak ada lagi bunyi tembakan. Tidak ada lagi gerilya. Tidak ada lagi penjajah asing di tanah ini. Tapi ada sesuatu yang lebih menyakitkan: melihat bangsa yang dulu diperjuangkannya kini justru dirusak dari dalam. Setiap kali membaca berita—tentang korupsi yang semakin membudaya, pejabat yang hidup dalam kemewahan hasil uang rakyat, hingga sumber daya alam yang dikuras habis oleh tangan-tangan asing—hatinya terasa robek. “Apa bedanya mereka dengan pengkhianat bangsa zaman dulu?” gumamnya lirih. “Dulu mereka disebut mata-mata, kini disebut elite. Tapi prinsipnya sama: menjual bangsa sendiri.” Ia kembali mengingat bisikan Jenderal Sudirman di tengah hutan: "Pengkhianat bangsa lebih berbahaya dari penjajah. Mereka harus dibasmi. Mereka tak pantas hidup di negara ini." Saat itu, ia diberi tugas khusus: menyusup ke kota dan menyingkirkan para kolaborator penjajah yang mengkhianati bangsanya. Ia menyamar jadi penjual tape singkong dan air fermentasi—sejenis minuman tradisional yang disukai banyak orang, termasuk para penghianat bangsa. Dalam tiap botol air tape yang ia jual, diselipkan racun. Racun itu diperoleh dari sahabat keturunan Tionghoa yang ikut mendukung perjuangan kemerdekaan. Dalam hitungan jam, racun itu menghabisi nyawa mereka yang meminumnya. Tak ada yang curiga. Ada yang mengira mereka mati karena serangan jantung. Ada yang menduga karena santet. Ada pula yang menyebut kutukan Tuhan. Tapi tak ada yang tahu, bahwa kematian mereka adalah bagian dari perjuangan diam-diam seorang pejuang untuk menyelamatkan bangsanya. Lelaki tua itu kini hanya bisa duduk di beranda rumahnya, menatap langit senja sambil memegang lencana merah putih yang mulai usang. Tapi di hatinya, lencana itu tetap bersinar terang. Ia tahu, perjuangan hari ini tak lagi melawan penjajah bersenjata, melainkan melawan kerakusan, pengkhianatan moral, dan pengingkaran terhadap nilai-nilai kebangsaan. Perang itu masih ada. Tapi medan tempurnya berbeda. Kisah ini bukan sekadar cerita nostalgia. Ini adalah pengingat bahwa kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajah, tapi tentang keberanian menjaga nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Dan selama masih ada yang mengenakan lencana merah putih dengan bangga, kita percaya: semangat perjuangan itu belum mati. Tag: cerita pendek pejuang, sejarah Indonesia, pengkhianat bangsa, semangat nasionalisme, inspirasi kemerdekaan Ditulis oleh: Kang RuliPejuang Tua dan Lencana Merah Putih: Sebuah Renungan tentang Bangsa
Kenangan Seorang Pejuang yang Masih Hidup di Antara Kita
Ketika Damai Tercipta, Tapi Luka Masih Terasa
Misi Rahasia Sang Pejuang: Menumpas Para Pengkhianat
Sebuah Rencana Licik untuk Tujuan Mulia
Renungan: Apakah Perjuangan Itu Masih Relevan Hari Ini?
Penutup: Semangat Pejuang Tak Pernah Mati
Home
cerita pendek
inspiratif
korupsi
pejuang kemerdekaan
pengkhianat bangsa
perjuangan
sejarah Indonesia
Pejuang Tua dan Lencana Merah Putih: Sebuah Renungan tentang Bangsa
الثلاثاء، 27 مايو 2025
Pejuang Tua dan Lencana Merah Putih: Sebuah Renungan tentang Bangsa
الاشتراك في:
تعليقات الرسالة (Atom)