Algoritma dan Aristokrasi: Teknologi untuk Kalangan Terpilih? |
Pendahuluan: Dunia yang Ditentukan oleh Algoritma
Di zaman di mana setiap klik, pencarian, dan transaksi dicatat oleh mesin cerdas, muncul satu pertanyaan mendasar: siapa yang benar-benar diuntungkan oleh teknologi? Apakah algoritma dirancang untuk semua, atau hanya untuk segelintir kalangan terpilih yang paham dan mampu mengendalikannya?
Era digital telah melahirkan tatanan baru—sejenis “aristokrasi teknologi”, di mana mereka yang memiliki akses, pengetahuan, dan kekuatan digital, perlahan mendominasi ekonomi, budaya, dan bahkan politik. Artikel ini akan membongkar hubungan antara algoritma, kekuasaan, dan ketimpangan yang semakin nyata.
Algoritma: Raja Baru di Dunia Data
Algoritma bukan hanya rumus matematika. Ia adalah penyaring realitas, memutuskan:
- Apa yang Anda lihat di media sosial.
- Harga yang Anda dapat saat membeli tiket pesawat.
- Lamaran kerja mana yang lolos sistem ATS (Applicant Tracking System).
- Berita apa yang muncul lebih dulu di beranda Anda.
Masalahnya? Algoritma tidak netral. Ia dirancang oleh manusia, berdasarkan nilai, tujuan, dan kepentingan tertentu. Dalam banyak kasus, algoritma memperkuat yang sudah kuat dan mengabaikan yang lemah.
Teknologi dan Kelas Sosial: Ketimpangan yang Tak Terlihat
Kesenjangan Akses Digital (Digital Divide)
Mereka yang tinggal di kota besar dengan koneksi cepat, perangkat terbaru, dan pendidikan teknologi jelas lebih unggul daripada mereka yang tinggal di pedesaan atau wilayah tertinggal. Ini menciptakan lapisan masyarakat digital, di mana yang melek digital mendapat lebih banyak kesempatan.
Kapitalisme Platform
Perusahaan raksasa seperti Google, Amazon, Meta, dan Apple menguasai data miliaran manusia. Dalam struktur ini, pengguna hanyalah produk, sedangkan “kelas aristokrat digital”—para pemilik dan pengendali platform—mengakumulasi kekayaan dan kekuasaan tanpa batas.
Elitisme Digital: Siapa yang Mengendalikan Masa Depan?
Lihat saja siapa yang mengembangkan AI, blockchain, dan teknologi masa depan lainnya. Sebagian besar berasal dari kalangan berpendidikan tinggi, punya akses modal besar, dan berada dalam jejaring elit global. Maka, inovasi teknologi sering kali tidak memperhatikan kebutuhan akar rumput, tetapi fokus pada profit dan dominasi.
Contoh:
- AI dalam rekrutmen kerja cenderung bias terhadap latar belakang tertentu.
- Facial recognition lebih akurat pada wajah berkulit putih dibanding kulit gelap.
- Aplikasi pendidikan atau kesehatan berbayar hanya bisa dijangkau oleh kelompok ekonomi menengah ke atas.
Ancaman Baru: Ketika Demokrasi Dikaburkan oleh Algoritma
Teknologi juga telah digunakan untuk memengaruhi opini publik, manipulasi politik, dan pengawasan massal:
- Micro-targeting iklan politik di media sosial mengaburkan batas antara fakta dan propaganda.
- Surveillance capitalism mengubah privasi menjadi komoditas.
- Filter bubble membuat orang terjebak dalam gelembung informasi yang mempersempit pandangan dunia mereka.
Jika tidak diawasi, algoritma dapat menjadi alat penindasan baru, bukan pembebas.
Jalan Keluar: Teknologi untuk Semua, Bukan untuk Segelintir
Demokratisasi Teknologi
- Pendidikan literasi digital harus diakses semua kalangan, sejak dini.
- Teknologi open source dan etis harus didorong.
- Pemerintah perlu hadir dalam mengatur platform dan menjamin keadilan akses.
Keadilan Algoritmik (Algorithmic Justice)
- Transparansi algoritma (hak untuk tahu bagaimana sistem bekerja).
- Audit independen terhadap sistem AI dan big data.
- Pelibatan komunitas rentan dalam desain dan implementasi teknologi.
Kesimpulan: Antara Kuasa dan Keadilan Digital
Jika dibiarkan tanpa kritik, algoritma bisa menjadi bentuk baru aristokrasi—kuasa yang tidak dipilih secara demokratis, tapi mengatur kehidupan jutaan orang. Teknologi seharusnya menjadi alat pembebasan, bukan penindasan.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak hanya menjadi pengguna pasif, tetapi juga menjadi pengkritik aktif dan pencipta teknologi yang adil, inklusif, dan manusiawi.