Di Luar Labirin

Di Luar Labirin

Bayangkan sebuah dunia yang lurus. Di sana, matahari tak pernah beringsut dari titik kulminasi, dan angin hanya sepoi yang patuh. Tak ada batu sandungan, tak ada tikungan yang menyembunyikan teka-teki, tak ada badai yang merobek layar. Di sana, hidup adalah sebuah garis yang tenang, sebuah ekstase tanpa jeda.

Namun, benarkah itu hidup?

Kita sering membayangkan "ujian" sebagai beban yang sebisa mungkin dibuang ke keranjang sampah sejarah. Kita mengutuk kesulitan seakan-akan ia adalah penyusup yang merusak pesta. Tapi barangkali kita lupa pada Sisyphus. Dalam mitos yang ditulis Camus, Sisyphus dihukum untuk mendorong batu ke puncak gunung, hanya untuk melihatnya menggelinding kembali ke bawah. Sia-sia? Mungkin. Namun, dalam setiap peluh dan otot yang menegang, Sisyphus menjadi "ada". Ia bukan sekadar bayang-bayang. Ia adalah subjek karena ia berhadapan dengan sesuatu yang menentangnya.

Apalah hidup jika tanpa ujian? Ia mungkin akan menjadi semacam firdaus yang membosankan. Sebuah taman yang stagnan, di mana bunga tak pernah layu karena ia tak pernah benar-benar mekar. Sebab, untuk menjadi "mekar", sesuatu harus berjuang menembus tanah yang keras, melawan gravitasi, dan bertahan dari serbuan ulat.

Dalam khazanah kita, kita mengenal kata prihatin. Sebuah laku untuk menahan diri, untuk berhadapan dengan kekurangan. Ada semacam kearifan tua yang membisikkan bahwa manusia hanya akan menemukan tekstur jiwanya justru ketika ia terbentur. Tanpa benturan, jiwa kita hanyalah permukaan yang licin dan datar—tak ada kedalaman, tak ada relief.

Ujian, dalam bentuknya yang paling purba, adalah "Yang Lain" (the Other). Ia adalah dunia yang berkata "tidak" pada keinginan kita yang rakus. Dan justru dalam kata "tidak" itulah, kita dipaksa untuk bercermin. Kita bertanya: Siapakah aku di hadapan penderitaan ini? Siapakah aku ketika harapanku runtuh?

Sejarah mencatat bahwa kebudayaan yang besar tidak lahir dari kemapanan yang lelap, melainkan dari kegelisahan. Puisi yang paling menggetarkan seringkali ditulis dengan tinta yang bercampur air mata. Musik yang paling merdu lahir dari kerinduan yang tak sampai. Seolah-olah keindahan membutuhkan luka sebagai pintu masuknya.

Barangkali, ujian bukanlah sebuah tes untuk menentukan kita lulus atau gagal—seperti dalam ujian sekolah yang kaku dan birokratis. Ujian adalah proses menjadi. Ia adalah api yang membakar kotoran pada emas, hingga yang tersisa adalah murni.

Jika hidup adalah sebuah teks, maka ujian adalah tanda baca. Tanpanya, kalimat-kalimat kita hanya akan menjadi rentetan kata yang tanpa makna, sebuah gumam yang panjang dan menjemukan. Kita butuh koma untuk berhenti sejenak dalam lelah, dan kita butuh tanda tanya untuk menyadari bahwa kita tak pernah benar-benar menguasai segalanya.

Pada akhirnya, kita belajar bahwa hidup yang tanpa ujian adalah hidup yang tak pernah diuji kebenarannya. Dan hidup yang tak diuji, seperti kata Socrates, adalah hidup yang tak layak dijalani. Kita memeluk kesulitan bukan karena kita mencintai rasa sakit, tapi karena kita mencintai pertumbuhan.

Sebab di ujung jalan yang mendaki itu, meski kaki berdarah, kita bisa menoleh ke belakang dan berkata: "Aku ada, karena aku telah melampaui."

Post a Comment

Previous Post Next Post