Kisah Ziarah di Tanah Janji

Di bawah selimut langit yang tak kenal lelah memayungi, di atas hamparan tanah yang tak pernah berhenti menumbuhkan kehidupan, bersemayam sebuah impian. Impian ini bukan sekadar bunga tidur, melainkan cita-cita yang mengakar dalam sanubari dua hamba yang tulus, sepasang suami-istri yang telah menempuh perjalanan panjang: Ibu dan Bapakku. Mereka punya satu janji yang tak pernah terucap keras, sebuah niat suci untuk menjejakkan kaki di tanah yang diberkahi, tempat Ka'bah berdiri perkasa.

Waktu terus merayap, tahun demi tahun berlalu, namun impian itu tak pernah layu. Ia tak memudar diterpa badai kehidupan, tak lapuk dimakan usia. Kami, anak-anak mereka—lima orang yang kini terpencar, seakan mencerminkan nasib yang terbagi. Aku dan dua kakak perempuanku menetap di kampung, tak jauh dari rumah orang tua. Sementara dua adik laki-laki, yang satunya sudah berkeluarga, merantau ke kota kecil di seberang sana. Setiap sen yang mereka tabung, setiap tetes keringat yang jatuh, semua kami tahu, bukan semata untuk kami. Bukan hanya untuk makan sehari-hari. Itu semua adalah benang-benang untuk merajut impian suci tersebut.

Maka, tiba-tiba, keajaiban pertama hadir. Beberapa tahun silam, pucuk cinta dan kesabaran itu akhirnya berbuah. Ibu berangkat menunaikan Umrah. Langkahnya ringan, wajahnya berseri, seolah penantian panjangnya terbayar lunas. Di depan Baitullah, di tengah lautan manusia yang bersujud, ia tidak hanya berdoa untuk dirinya sendiri. Ia memintakan yang terbaik untuk pendamping hidupnya, Bapak. Ia mohon agar Sang Khalik memberikan kesempatan serupa kepada Bapak, agar dapat merasakan getaran yang sama, membasuh jiwa di tempat paling suci di muka bumi. Kami percaya, doa seorang istri yang salihah adalah bisikan paling merdu yang menyentuh langit.

Bapakku, seorang hamba yang tak kenal lelah dalam berikhtiar dan bersyukur, menerima takdir itu dengan lapang dada. Tak ada iri, tak ada keluh. Ia bagai seorang pemelihara taman yang sabar menanti musim semi, dengan keyakinan bahwa setiap penantian akan berujung pada keindahan. Ia melihat foto-foto yang dikirim Ibu dengan mata yang basah, mendengarkan cerita-cerita Ibu dengan jiwa yang tenteram. Setiap sujudnya di sepertiga malam, ia berbisik lirih, “Ya Allah, izinkan hamba-Mu ini mengunjungi rumah-Mu.” Kerinduan itu begitu kuat, mengalir dalam setiap helaan napasnya.

Dan kini, alhamdulillah, waktu itu benar-benar tiba. Tahun 2025 menjadi saksi, ketika Bapakku akhirnya menerima panggilan yang telah lama ia rindukan. Sebuah amplop berisi visa Umrah tergeletak di meja, seakan menjadi jawaban atas setiap doa yang terbisik. Tangis haru yang pecah adalah bukti nyata bahwa keajaiban itu ada, bahwa janji Allah itu benar adanya. Ia berangkat dengan hati penuh syukur, langkah yang mantap, membawa serta doa dan kenangan dari Ibu. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik. Ini adalah ziarah batin yang sempurna, menggenapi ikrar cinta dan spiritual yang telah terukir sejak puluhan tahun silam.

Rumah kami kini terasa lebih syahdu. Kisah tentang dua hamba yang saling mendoakan dan menunggu telah menjadi pelajaran paling berharga bagi kami. Bahwa dalam setiap penantian, ada hikmah yang tersembunyi. Bahwa Allah Maha Mendengar, dan setiap impian yang diserahkan kepada-Nya dengan tulus akan menemukan jalan pulang yang paling indah.

Alhamdulillah, setelah beberapa tahun lalu Ibu menunaikan Umrah, kini di tahun 2025 Bapak pun menyusul. Sebuah kisah cinta, kesetiaan, dan takdir Ilahi yang tergenapi—dan kami, anak-anaknya, menjadi saksi bisu dari betapa indahnya janji Allah bagi hamba yang sabar dan bersyukur.
Previous Post Next Post

Gadgets